albert giban: anaklorong
Jumlah Pengungsi Akibat Konflik di Papua Terus Bertambah
"Kelompok-kelompok ini ditenggarai memang sudah dimonitor bahwa
mereka akan terus mengganggu situasi di sana sehingga anggota kami masih
tetap berjaga di sana. Sebagian besar (mengungsi) terjadi di pekan
lalu. Warga yang kembali ke Tembagapura belum ada," kata Paulus saat
dihubungi VOA.
Lanjut Paulus, satgas gabungan TNI-Polri masih terus mengejar
kelompok separatis tersebut dan akan menindak tegas para pelaku teror
dan kekerasan terhadap masyarakat di Papua. Namun, satgas gabungan yang
berada di Tembagapura terhadangkendala dengan medan yang cukup berat.
"Karena di Tembagapura hari-harinya berkabut tebal. Area yang cerah
hanya beberapa menit itu yang menyulitkan ketika kami melakukan
pengejaran yang lebih jauh, selain ketinggian yang curam. Itu menjadi
kendala kami,” papar Paulus.
Paulus meminta masyarakat untuk percaya kepada TNI dan Polri yang ditugaskan untuk menangani kelompok ini. [aa/ft]
Jumlah Pengungsi Akibat Konflik di Papua Terus Bertambah
Konflik senjata yang terjadi di beberapa wilayah di Papua menyebabkan
puluhan ribu masyarakat mengungsi. Lembaga Bantuan Hukum (LBH)Papua
mendesak agar negara ikut menangani pengungsi di wilayah Nduga, Intan
Jaya, dan Tembagapura.
puluhan ribu masyarakat mengungsi. Lembaga Bantuan Hukum (LBH)Papua
mendesak agar negara ikut menangani pengungsi di wilayah Nduga, Intan
Jaya, dan Tembagapura.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua mencatat hampir 40 ribu masyarakat
sipil di Nduga, Intan Jaya, dan Tembagapura mengungsi sejak adanya
konflik antara TNI-Polri dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat
(TPNPB) pada 2018-2020.
Direktur LBH Papua, Emanuel Gobay menyebut konflik tersebut telah
melahirkan banyak persoalan hukum dan hak asasi manusia (HAM). Salah
satunya adalah melonjaknya jumlah masyarakat sipil yang menjadi
pengungsi akibat konflik antara pasukan keamanan Indonesia dengan
kelompok TPNPB.
"Masih terjadi dan kami akan pastikan ke kawan-kawan di Timika. Angka
itu bisa saja bertambah karena jumlah pengungsi di Intan Jaya, dan
Tembagapura sedang terjadi. Artinya mereka sedang mengungsi," katanya
saat dihubungi VOA, Jumat (13/3).
Emanuel menyatakan para pengungsi dari konflik tersebut tidak
ditangani dengan baik oleh institusi negara yang bertugas untuk
menangani masalah pengungsian. Padahal pada 2018, pemerintah telah
memberlakukan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2018 tentang Kepalangmerahan.
"Konflik yang terjadi di sini adalah antara kelompok yang menggunakan
senjata api. Kalau kita lihat dalam dasar menimbang perumusan
Undang-undang No 1 Tahun 2018 jelas menyebutkan tentang fakta Indonesia
telah meratifikasi Konvensi Jenewa dan Palang Merah Indonesia (PMI)
diharapkan bisa bertugas di waktu damai mau pun masa konflik
bersenjata," jelasnya.
LBH Papua mendesak agar negara hadir dan bertanggung jawab dalam
penanganan pengungsi akibat konflik. Emanuel menyebut pada praktiknya,
masyarakat sipil dan Kementerian Sosial (Kemensos) lah yang menangani
pengungsi Nduga di Wamena pada 2018.
Terkait penanganan pengungsi oleh Kemensos, LBH Papua juga
mempertanyakan dasar hukumnya. Pasalnya, konflik bersenjata bukan
kategori konflik sosial yang dapat ditangani oleh Kemensos. Menurutnya,
PMI yang seharusnya bertugas di ketiga wilayah tersebut.
"Ini baru disahkan undang-undangnya tahun 2018. Sementara konflik ini
terjadi di tahun yang sama dan berlanjut sampai sekarang di tempat yang
berbeda-beda," ujarnya.
"Semestinya sesuai dengan komitmen perumusan undang-undang tersebut
negara mendorong agar undang-undang itu diimplementasikan di Papua.
Karena lembaga (PMI) tersebut dibentuk untuk mengurus persoalan tersebut
salah satunya pengungsian ini," tambah Emanuel.
PMI diminta segera turun ke lapangan untuk menangangi pengungsi
Nduga, Intan Jaya dan Tembagapura sesuai dengan perintah Undang Undang
Nomor 1 Tahun 2018 tentang Kepalangmerahan.
Bila PMI tidak turun menangani pengungsi dari tiga wilayah tersebut,
Emanuel mengatakan, hal itu bisa dianggap pengabaian negara terhadap
nasib ribuan pengungsi.
“Apabila pengabaian itu benar-benar terjadi,maka sudah jelas masuk dalam kategori pelanggaran HAM," ucap Emanuel.
Kepala Biro Humas PMI Pusat, Aulia Arriani mengaku belum mendapat
informasi terkait desakan dari LBH Papua untuk menangani pengungsi
akibat konflik di Papua.
"Belum bisa berikan informasi apa-apa. Belum ada arahan dari pengurus
kami juga di pusat," katanya kepada VOA melalui pesan online.
Pada awal Maret 2020 sebanyak 1.582 masyarakat sipil di Tembagapura
telah mengungsi ke Timika karena konflik senjata. Warga yang mengungsi
ke Timika berasal dari beberapa kampung di Tembagapura yakni Longsoran,
Batu Besar, Kimbeli dan Banti. Warga yang mengungsi dari Tembagapura ke
Timika tersebut karena masyarakat takut atas aksi teror yang dilakukan
oleh pasukan sayap militer TPNPB. Kelompok tersebut melakukan pemerasan
dan menodongkan senjata api kepada warga.
Sementara itu, Kapolda Papua, Irjen Pol Paulus Waterpauw mengatakan
saat ini kondisi keamanan di Tembagapura aman dan terkendali. Satgas
gabungan TNI-Polri juga masih bersiaga di Tembagapura hingga waktu yang
belum bisa ditentukan.
sipil di Nduga, Intan Jaya, dan Tembagapura mengungsi sejak adanya
konflik antara TNI-Polri dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat
(TPNPB) pada 2018-2020.
Direktur LBH Papua, Emanuel Gobay menyebut konflik tersebut telah
melahirkan banyak persoalan hukum dan hak asasi manusia (HAM). Salah
satunya adalah melonjaknya jumlah masyarakat sipil yang menjadi
pengungsi akibat konflik antara pasukan keamanan Indonesia dengan
kelompok TPNPB.
"Masih terjadi dan kami akan pastikan ke kawan-kawan di Timika. Angka
itu bisa saja bertambah karena jumlah pengungsi di Intan Jaya, dan
Tembagapura sedang terjadi. Artinya mereka sedang mengungsi," katanya
saat dihubungi VOA, Jumat (13/3).
Emanuel menyatakan para pengungsi dari konflik tersebut tidak
ditangani dengan baik oleh institusi negara yang bertugas untuk
menangani masalah pengungsian. Padahal pada 2018, pemerintah telah
memberlakukan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2018 tentang Kepalangmerahan.
"Konflik yang terjadi di sini adalah antara kelompok yang menggunakan
senjata api. Kalau kita lihat dalam dasar menimbang perumusan
Undang-undang No 1 Tahun 2018 jelas menyebutkan tentang fakta Indonesia
telah meratifikasi Konvensi Jenewa dan Palang Merah Indonesia (PMI)
diharapkan bisa bertugas di waktu damai mau pun masa konflik
bersenjata," jelasnya.
LBH Papua mendesak agar negara hadir dan bertanggung jawab dalam
penanganan pengungsi akibat konflik. Emanuel menyebut pada praktiknya,
masyarakat sipil dan Kementerian Sosial (Kemensos) lah yang menangani
pengungsi Nduga di Wamena pada 2018.
Terkait penanganan pengungsi oleh Kemensos, LBH Papua juga
mempertanyakan dasar hukumnya. Pasalnya, konflik bersenjata bukan
kategori konflik sosial yang dapat ditangani oleh Kemensos. Menurutnya,
PMI yang seharusnya bertugas di ketiga wilayah tersebut.
"Ini baru disahkan undang-undangnya tahun 2018. Sementara konflik ini
terjadi di tahun yang sama dan berlanjut sampai sekarang di tempat yang
berbeda-beda," ujarnya.
"Semestinya sesuai dengan komitmen perumusan undang-undang tersebut
negara mendorong agar undang-undang itu diimplementasikan di Papua.
Karena lembaga (PMI) tersebut dibentuk untuk mengurus persoalan tersebut
salah satunya pengungsian ini," tambah Emanuel.
PMI diminta segera turun ke lapangan untuk menangangi pengungsi
Nduga, Intan Jaya dan Tembagapura sesuai dengan perintah Undang Undang
Nomor 1 Tahun 2018 tentang Kepalangmerahan.
Bila PMI tidak turun menangani pengungsi dari tiga wilayah tersebut,
Emanuel mengatakan, hal itu bisa dianggap pengabaian negara terhadap
nasib ribuan pengungsi.
“Apabila pengabaian itu benar-benar terjadi,maka sudah jelas masuk dalam kategori pelanggaran HAM," ucap Emanuel.
Kepala Biro Humas PMI Pusat, Aulia Arriani mengaku belum mendapat
informasi terkait desakan dari LBH Papua untuk menangani pengungsi
akibat konflik di Papua.
"Belum bisa berikan informasi apa-apa. Belum ada arahan dari pengurus
kami juga di pusat," katanya kepada VOA melalui pesan online.
Pada awal Maret 2020 sebanyak 1.582 masyarakat sipil di Tembagapura
telah mengungsi ke Timika karena konflik senjata. Warga yang mengungsi
ke Timika berasal dari beberapa kampung di Tembagapura yakni Longsoran,
Batu Besar, Kimbeli dan Banti. Warga yang mengungsi dari Tembagapura ke
Timika tersebut karena masyarakat takut atas aksi teror yang dilakukan
oleh pasukan sayap militer TPNPB. Kelompok tersebut melakukan pemerasan
dan menodongkan senjata api kepada warga.
Sementara itu, Kapolda Papua, Irjen Pol Paulus Waterpauw mengatakan
saat ini kondisi keamanan di Tembagapura aman dan terkendali. Satgas
gabungan TNI-Polri juga masih bersiaga di Tembagapura hingga waktu yang
belum bisa ditentukan.
mereka akan terus mengganggu situasi di sana sehingga anggota kami masih
tetap berjaga di sana. Sebagian besar (mengungsi) terjadi di pekan
lalu. Warga yang kembali ke Tembagapura belum ada," kata Paulus saat
dihubungi VOA.
Lanjut Paulus, satgas gabungan TNI-Polri masih terus mengejar
kelompok separatis tersebut dan akan menindak tegas para pelaku teror
dan kekerasan terhadap masyarakat di Papua. Namun, satgas gabungan yang
berada di Tembagapura terhadangkendala dengan medan yang cukup berat.
"Karena di Tembagapura hari-harinya berkabut tebal. Area yang cerah
hanya beberapa menit itu yang menyulitkan ketika kami melakukan
pengejaran yang lebih jauh, selain ketinggian yang curam. Itu menjadi
kendala kami,” papar Paulus.
Paulus meminta masyarakat untuk percaya kepada TNI dan Polri yang ditugaskan untuk menangani kelompok ini. [aa/ft]